Psikologi Kekayaan: Bagaimana Islam Mengajarkan Kita Mengelola Uang
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Apakah banyaknya harta otomatis membuat kita bahagia dan mulia di sisi Allah? Atau justru bisa menjadi ujian yang menjerumuskan?
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad ﷺ mengingatkan bahwa setiap umat memiliki ujian, dan ujian bagi umat beliau adalah kekayaan. Pesan ini terasa sangat dekat dengan kondisi kita hari ini: hidup di tengah arus kapitalisme, iklan yang tak putus, dan budaya “harus punya lebih”.
Tulisan ini merangkum gagasan penting dari karya Dr. Osman Umarji “Psychology of Wealth: An Islamic Perspective on Personal Finance” tentang bagaimana Islam membentuk cara pandang seorang Muslim terhadap harta dan keuangan pribadi.
1. Cara Pandang Ekonomi Modern vs Cara Pandang Islam
Ekonomi modern (khususnya aliran neoklasik) memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengejar kepuasan maksimal. Tolok ukurnya sederhana: semakin banyak, semakin enak, semakin nyaman, semakin baik.
Beberapa ciri cara pandang ini:
-
Tujuan utama: mengejar kesenangan duniawi (pleasure).
-
Manusia dianggap sangat rasional dan selalu bisa menghitung mana yang paling menguntungkan bagi dirinya.
-
Harta dianggap milik pribadi sepenuhnya: “Ini hasil kerja keras saya, terserah saya mau apakan.”
Islam menerima bahwa manusia punya kebutuhan dan keinginan, tetapi tidak menjadikan kesenangan dunia sebagai tujuan akhir. Ada beberapa perbedaan mendasar:
-
Pemilik Sejati Harta adalah Allah
Al-Qur’an menyebut bahwa Allah menjadikan kita sebagai pengelola atau pemegang amanah harta, bukan pemilik mutlak. Harta yang kita pegang hanyalah titipan. -
Harta adalah Ujian, Bukan Tanda Kemuliaan
Kaya tidak otomatis mulia, miskin tidak otomatis hina. Keduanya adalah ujian: apakah kita bersyukur, adil, dan peduli, atau malah sombong dan zalim. -
Hak Orang Lain dalam Harta Kita
Ada hak orang miskin, kerabat, dan penerima zakat pada harta kita. Ini bertentangan dengan paham bahwa harta hanya untuk diri sendiri.
Dengan bahasa buku ini, ekonomi modern ingin membentuk Homo economicus (manusia pengejar untung dunia), sementara Islam ingin membentuk Homo islamicus (manusia yang bertransaksi dengan kesadaran akhirat).
2. Cinta Harta dan Peringatan Nabi
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia memang mencintai harta dengan sangat. Cinta itu sendiri bukan masalah, tetapi menjadi bahaya ketika:
-
Harta dijadikan tujuan hidup.
-
Semua keputusan diukur dari untung-rugi dunia saja.
-
Segala cara ditempuh, termasuk yang haram.
Nabi ﷺ menggambarkan, seandainya anak Adam memiliki satu lembah penuh emas, ia akan ingin dua lembah. Keinginan yang tidak pernah puas ini bisa mengikis agama, seperti dua serigala lapar yang mencerai-beraikan kambing jika dibiarkan.
Islam tidak memusuhi orang kaya, tetapi melindungi hati dari diperbudak harta.
3. Dari “Milikku” Menjadi “Amanah”
Dalam kacamata kapitalisme, kalimat yang biasa muncul adalah:
“Ini uang saya, saya bebas melakukan apa saja.”
Islam mengubah cara bicara itu menjadi:
“Ini amanah dari Allah, saya akan dimintai pertanggungjawaban.”
Jika kita benar-benar merasa hanya memegang amanah, maka konsekuensinya:
-
Kita belajar dan patuh terhadap aturan zakat, waris, sedekah, larangan riba, larangan boros, dan larangan kikir.
-
Kita sadar bahwa harta bukan sekadar alat memanjakan diri, tetapi sarana beribadah dan menebar manfaat.
Pandangan ini membuat hati lebih ringan untuk mengeluarkan zakat dan sedekah, karena kita sadar: itu semua memang hak yang harus ditunaikan.
4. Paradoks Mengejar Dunia: Makin Dikejar, Makin Cemas
Nabi ﷺ mengajarkan sebuah “rumus psikologis” yang sangat menarik:
-
Jika hidup hanya fokus pada dunia, Allah jadikan urusan kita ruwet dan hati selalu takut miskin, padahal bagian rezeki tidak akan melebihi yang sudah ditetapkan.
-
Jika fokus utama kita adalah akhirat, Allah menata urusan dunia kita, menanamkan rasa cukup di hati, dan rezeki dunia akan datang sekadar yang kita perlukan.
Artinya, ketika dunia dijadikan tujuan, kita justru semakin mudah cemburu, gelisah, dan tidak pernah puas. Namun ketika akhirat yang diprioritaskan, dunia justru mengikuti seperlunya, dan hati menjadi lebih tenang.
5. Belanja, Keluarga, dan Investasi Dunia–Akhirat
a. Prinsip Moderasi
Al-Qur’an memuji orang yang ketika membelanjakan harta:
Tidak berlebihan dan tidak kikir, tetapi mengambil jalan tengah.
Islam justru mendorong kita:
-
makan dan minum yang baik,
-
berpakaian yang layak dan rapi,
-
menikmati nikmat Allah tanpa sombong dan berlebihan.
Nabi ﷺ juga menegaskan bahwa nafkah untuk keluarga, jika diniatkan karena Allah, dihitung sebagai sedekah. Jadi belanja bulanan, biaya pendidikan anak, bahkan jajan kecil yang mengeratkan kasih sayang—bisa bernilai ibadah jika niatnya benar.
b. Investasi Dunia: Harta yang Menganggur “Terkikis”
Umar ibn Khattab pernah menganjurkan agar harta anak yatim diusahakan, agar tidak habis oleh zakat. Jika harta hanya disimpan, setiap tahun ia berkurang 2,5% untuk zakat. Dalam hitungan kasar, 10 juta yang dibiarkan diam akan terus menyusut nilainya dari tahun ke tahun.
Maka:
-
Islam mendorong investasi dan usaha yang halal.
-
Bukan sekadar untuk menumpuk harta, tetapi supaya harta tetap hidup dan bisa memberi manfaat lebih luas.
c. Investasi Akhirat: Harta yang Benar-Benar “Milik Kita”
Nabi ﷺ mengingatkan bahwa, pada akhirnya, harta yang benar-benar menjadi “milik kita” hanya tiga:
-
yang kita makan lalu habis,
-
yang kita pakai lalu rusak,
-
yang kita sedekahkan di jalan Allah, dan itu yang kekal menjadi tabungan akhirat.
Dalam hadis lain, beliau menjelaskan bahwa harta yang kita sisihkan sebagai sedekah ketika hidup itulah “harta kita yang sebenarnya”, sementara yang kita tinggalkan adalah harta ahli waris.
Dengan bahasa modern, sedekah adalah investasi jangka panjang dengan keuntungan akhirat yang tidak bisa dibayangkan nilainya.
d. “Portofolio Investasi Akhirat”
Dalam buku ini, Dr. Osman memberi contoh ilustrasi sebuah “portofolio akhirat” yang berisi aneka jenis sedekah: masjid, pendidikan, beasiswa, bantu fakir miskin, kegiatan sosial, perlindungan lingkungan, media dakwah, dan sebagainya.
Pesannya sederhana: jangan hanya fokus pada satu jenis amal, tetapi sebarkan sedekah ke banyak bidang kebaikan. Seperti portofolio keuangan, jika satu sektor sedang lemah, insyaAllah sektor lain tetap “berbuah”.
Beberapa kiat praktis:
-
Mulai sejak muda, walaupun dengan nominal kecil, tetapi rutin.
-
Sisihkan persentase tetap dari penghasilan (misalnya 5–10% di luar zakat).
-
Berani berkontribusi ketika program kebaikan masih lemah dan belum populer; di fase awal, pahalanya bisa jauh lebih besar.
6. Mindset Kelangkaan vs Mindset Kelimpahan
Buku ini menjelaskan satu jebakan besar: mindset kelangkaan (scarcity mindset).
Ciri-cirinya:
-
Selalu merasa “tidak cukup”.
-
Mudah iri dengan orang yang lebih kaya.
-
Akhirnya enggan bersedekah, mudah tergoda meminjam dengan riba, bahkan nekat berjudi atau spekulasi ekstrem demi “jalan pintas”.
Penelitian psikologi menunjukkan bahwa orang yang merasa “tertinggal” secara ekonomi cenderung:
-
lebih stres dan kurang sehat,
-
lebih materialistis,
-
lebih berisiko mengambil keputusan keuangan yang merugikan.
Al-Qur’an sudah mengingatkan sumber bisikan ini:
Setan menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat keji, sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya. (Q.S. Al-Baqarah: 268)
Nabi ﷺ memberi terapi sederhana:
-
Lihatlah orang yang lebih miskin, bukan yang lebih kaya, agar kita tidak meremehkan nikmat Allah.
-
Saat melihat kemewahan orang lain, ingat bahwa itu adalah ujian, bukan jaminan kebahagiaan.
7. Meluruskan Mitos: “Kalau Kaya Berarti Dimuliakan Allah”
Sebagian orang beranggapan: kalau seseorang kaya, berarti Allah sayang dan memuliakannya; kalau miskin, berarti kurang beruntung atau kurang diridai.
Al-Qur’an secara tegas membantah cara berpikir ini di Surah Al-Fajr. Ketika Allah melapangkan rezeki, itu disebut ujian. Ketika Allah menyempitkan rezeki, itu juga ujian—bukan bentuk penghinaan.
Kisah Qarun menjadi peringatan keras. Ia kaya raya, berbangga dengan harta dan ilmu yang ia miliki, dan menolak menggunakan hartanya untuk jalan kebaikan. Ketika ia ditelan bumi bersama hartanya, barulah orang sadar bahwa kelapangan harta bukan tanda kemuliaan, tetapi bisa menjadi sebab kehancuran jika salah digunakan.
Kesimpulannya:
Yang menentukan kemuliaan di sisi Allah bukan kaya atau miskin, tetapi ketakwaan dan cara kita memperlakukan amanah harta.
8. Distribusi Rezeki: Hikmah Allah dan Peran Kita
Al-Qur’an menyebut bahwa jika rezeki semua orang dilapangkan tanpa batas, manusia akan mudah melampaui batas dan berbuat kerusakan. Karena itu, Allah membagi rezeki manusia dengan ukuran dan hikmah tertentu.
Ada orang yang diuji dengan kekayaan, ada yang diuji dengan keterbatasan. Untuk sebagian orang, miskin justru lebih aman bagi imannya; bagi sebagian yang lain, kaya bisa lebih bermanfaat karena ia menolong banyak orang.
Tugas kita:
-
Ridha pada pembagian Allah.
-
Menjadi perantara rezeki bagi orang lain: melalui zakat, sedekah, kerja yang jujur, dan kebijakan sosial yang adil.
9. Rahasia Barakah dalam Rezeki
Barakah adalah nilai tambah tak terlihat yang Allah berikan pada sesuatu:
-
Uang sedikit, tetapi cukup bahkan bisa membantu orang lain.
-
Waktu sempit, tetapi terasa luas dan produktif.
-
Makanan sederhana, tapi mengenyangkan banyak orang.
Nabi ﷺ sering berdoa agar Allah memberkahi kota Madinah, makanan, dan ukuran takarannya. Beliau juga mengajarkan bahwa makanan satu orang bisa cukup untuk dua orang jika dimakan bersama dan menyebut nama Allah.
Dalam jual beli, beliau menegaskan:
-
Kejujuran dan keterbukaan dalam transaksi mendatangkan barakah.
-
Kebohongan dan menyembunyikan cacat barang menghapus barakah, meski secara angka mungkin tampak untung.
Di sinilah letak ketenangan seorang Muslim: ia percaya bahwa kejujuran, sedekah, dan menjauhi yang haram akan membuat hartanya lebih berkah, walaupun secara matematika tampak “lebih sedikit”.
10. Menutup: Menuju Mindset Keuangan Islami
Buku ini menampilkan diagram yang membandingkan dua cara pandang: mindset keuangan Islam dan mindset keuangan kapitalis.
Secara ringkas:
Mindset Keuangan Islam
-
Harta milik Allah, saya hanya pengelola.
-
Harta adalah ujian, bukan ukuran kemuliaan.
-
Allah memberi dan menahan rezeki dengan hikmah.
-
Saya memilih mindset kelimpahan: merasa cukup, bersyukur, dan siap berbagi.
Dari mindset ini lahir perilaku:
-
Mengelola pengeluaran dengan moderat.
-
Mencari nafkah yang halal dan diberkahi.
-
Menganggap nafkah keluarga sebagai amal.
-
Membangun “portofolio investasi akhirat” melalui sedekah dan amal jariyah.
Mindset Keuangan Kapitalis
-
Harta milik saya sepenuhnya.
-
Kekayaan murni hasil usaha sendiri.
-
Ekonomi, bukan Allah, yang menentukan segalanya.
-
Mindset kelangkaan: “saya harus punya lebih.”
Dari mindset ini mudah lahir perilaku:
-
Konsumtif dan boros.
-
Mencari uang dengan cara apa pun, bahkan yang haram.
-
Hubungan sosial jadi dingin dan penuh persaingan.
Di tengah arus konsumerisme yang kuat, kita membutuhkan revolusi cara pandang terhadap harta. Revolusi itu bukan hanya soal produk keuangan syariah, tetapi lebih mendasar: revolusi hati.
Kita bisa memulainya dengan langkah kecil:
-
Menata niat setiap kali menerima gaji atau penghasilan.
-
Menentukan pos wajib: kebutuhan keluarga, zakat, sedekah rutin.
-
Menghindari riba dan transaksi yang meragukan.
-
Mengajarkan anak bahwa harta adalah amanah dan alat berbuat baik, bukan tujuan hidup.
Semoga kita termasuk hamba yang kaya hati, murah tangan, dan selamat dari godaan harta yang menjerumuskan.
Sumber / Referensi
-
Osman Umarji, Psychology of Wealth: An Islamic Perspective on Personal Finance, Yaqeen Institute for Islamic Research, 2021.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar terhadap tulisan kami!