Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran. (Q.S. Al-Asr, 103: 1-3)
Cara Pandang Terhadap Realitas
Cara pandang kita terhadap realitas sangat unik. Ada
realitas yang tampak dan tidak tampak. Ada yang riil tapi tidak tampak. Kaum
materialis meyakini sesuatu itu ada kalau bisa dilihat. Kalau kita meyakini apa
yang tidak bisa dilihat sebagai ada. Contoh akhirat itu riil tapi kita tidak
bisa melihatnya. Termasuk malaikat, surga, neraka dan lain-lain. Cara pandang
seperti ini dimiliki oleh orang-orang beriman.
Al-Qur’an menempatkan orang yang percaya kepada yang ghaib
sebagai ciri pertama dari orang-orang yang bertakwa.
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka
yang beriman kepada yang ghaib … (Q.S. Al Baqarah, 2: 2-3)
Kita shalat
karena kita percaya kepada kepada yang ghaib (pahala). Karena pahala tidak
terlihat makanya tidak banyak yang tertarik. Orang yang beriman meskipun pahala
tidak terlihat tapi mereka yakin adanya.
Bagaimana
seandainya kalau setiap shalat dikasih uang, apakah ada yang tidak shalat?
Masalahnya karena upahnya tidak kelihatan, sedikit yang shalat. Masjid kita
megah tapi sepi pengunjung. Shalat jama’ah imbalannya 27 derajat lebih tinggi
dari shalat sendirian. Tapi karena ini ghaib, orang tidak semangat, buktinya
masjid kita sunyi, ramainya cuma bulan Ramadhan saja.
Kalau
pahala berupa uang maka penjual dipasar akan sepi, karena untungnya lebih pasti
daripada di pasar.
Keberuntungan dan
Kerugian
Orang yang
beruntung adalah orang yang beriman, beramal saleh dan saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran.
Disinilah
pentingnya kita memiliki cara pandang yang benar tentang realitas. Kita sering mengaitkan keberuntungan
dengan materi. Kita mengatakan bahwa orang yang beruntung adalah orang yang
kaya. Keberuntungan disini adalah keberuntungan yang ghaib. Disinilah Qur’an
memberikan cara pandang yang benar tentang kemuliaan.
Kalau
keberuntungan itu dikaitkan dengan kekayaan, maka orang miskin bukan orang yang
beruntung. Kalau pandangannya demikian, maka Rasulullah adalah yang paling
tidak beruntung karena beliau tidak mewariskan apa-apa. Rasulullah pernah tidak
punya makanan dalam kesehariannya.
Surat ini memuat
4 kewajiban yang harus kita laksanakan:
·
Ilmu
o
Mengenal Allah
o
Mengenal Nabi
o
Mengenal Agaa
·
Amal
·
Dakwah
·
Sabar
Mengenal Allah
Orang yang
mengenal Allah adalah orang yang menunaikan hak-Nya. Allah berhak untuk
diibadahi. Manusia yang
paling zalim di dunia adalah manusia yang tidak mau beribadah. Hak kedua adalah
tidak disekutukan.
Mengenal
Nabi
Cara
mengenal Nabi adalah dengan menunaikan haknya. Ketika menciptakan manusia,
Allah tidak membiarkan manusia semau-maunya. Ada aliran yang meyakini bahwa
setiap menciptakan manusia, Allah membiarkan mereka. Mereka meyakini manusia
bebas. Mereka yakin bahwa manusia hidup di dunia ini adalah untuk mengejar
syahwat saja.
Filsuf
Perancis mengatakan bahwa seandainya Tuhan itu ada harus kita tolak, karena ide
tentang adanya Tuhan dapat membunuh ide kebebasan kita..
Manusia
tidak bebas. Kalau dia melakukan sesuatu dia ingat Tuhan. Mau menipu, ingat
Tuhan, tidak jadi menipu.
Allah
membimbing manusia tidak secara langsung tapi lewat utusan. Utusan ini yang
menyampaikan kepada kita.
Nabi adalah
manusia yang sangat mulia, karena beliau menyampaikan pesan Allah SWT kepada
kita. Utusan itu yang disebut Nabi. Kalau tidak ada Nabi, kita tidak tahu cara
beribadah.
Orang yang
tidak percaya kepada utusan Tuhan bukan orang yang baik atau dalam bahasa lain,
dia tidak mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Pengakuan itu
lebih baik daripada perilaku atau akhlak (kepribadian) seseorang.
Materialis
tidak mengakui sumber ilmu – kabar yang benar. Sumber ilmu adalah akal, bukti
empiris dan kabar yang benar (khobar shodiq). Khobar shodiq ini sama
kedudukannya dengan mata kepala kita sendiri.
Kita
kadang-kadang kurang jujur dengan diri kita sendiri. Kita lebih percaya kepada orang yang tidak kita kenal
dibandingkan dengan orang yang kita kenal. Kita percaya kepada pesawat yang
tidak kita lihat. Kejujuran Nabi Muhammad SAW tidak hanya diakui oleh para
sahabat tapi juga oleh para musuhnya.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar terhadap tulisan kami!