Konsolidasi Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSAD) 2024

Gambar
  Pada hari Kamis, 25 April 2024 bertempat di Hotel Santika dilaksanakan Konsolidasi ARSADA - RSD Se-Indonesia dengan tema Strategi Pelayanan Farmasi dan Regulasi Pajak di Rumah Sakit Daerah. Dr. dr. Slamet Riyadi menyampaikan sambutan dari ARSADA tentang berbagai asumsi yang harus diantisipasi sebagai berikut: 1. Pemerintahan Baru. Potensi dampaknya kepada rumah sakit daerah. Kepala daerah baru (periode baru) DPRD Baru (periode baru) Posisi / kedudukan direktur rumsah sakit daerah Hubungan Pemda dengan rumah sakit daerah Kebijakan Pemda tentang uang, sarana prasarana dan sumber daya manusia Konsistensi pelaksanaan BLU/BLUD 2. Kefarmasian. Kepmenkes HK.01.07/Menkes/503/2024. Nilai klaim harga obat program rujuk balik; obat penyakit kronis di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut, obat kemoterapi, dan obat alteplase. Potensi dampak kepada rumah sakit daerah: Output: Mutu Layanan Kefarmasian meningkat Konsolidasi katalog elektronik sektoral kementerian kesehatan Penataan formulari

Menjaga Semangat Ramadhan Tetap Hidup

Oleh: Shelina Zahra Janmohamed (disadur oleh Jum'atil Fajar)
Islamicity

Dunia Muslim menjadi terbalik di bulan Ramadhan. Rutinitas makan, tidur dan bersosialisasi menjadi terbalik – makan pertama dilakukan ketika matahari terbenam. Potongan awal dari makanan yang masuk ke dalam mulut kita menurut tradisi Islam adalah yang manis, kurma segar. Tetapi apakah jam-jam selanjutnya benar-benar relijius?

Perubahan terkini dari budaya Ramadhan berarti bahwa nilai spiritual dari Ramadhan perlahan-lahan menghilang. Tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan seksual di siang hari – dengan tujuan mendekatkan diri pada Tuhan memiliki filosofi dan makna yang sangat banyak.


Kondisi itu memungkinkan penghargaan terhadap penderitaan orang yang miskin dan kelaparan, kesempatan untuk menyisihkan lebih sedikit waktu untuk fisik dan lebih banyak waktu untuk spiritual, pengakuan bahwa kita bisa hidup bahagia dan berhasil dengan lebih sedikit dari yang kita miliki.

Ketika malam hari, niat baik ini dikesampingkan, karena Ramadhan adalah di siang hari saja, dan acara bersenang-senang dimulai.

Ibu-ibu memasak makanan yang mewah untuk keluarga mereka. Makanan sangat berkalori sehingga banyak Muslim mengatakan bahwa berat badan mereka malah bertambah, bukannya berkurang. Filosofi menahan diri dan kesederhanaan yang dilakukan sepanjang siang memiliki gambaran cerminnya pada berlimpahnya makanan kesukaan pada malam harinya.

Salah satu tradisi Ramadhan adalah memberi makan orang lain saat berbuka dalam rangka meraih pahala. Undangan makan malam sangat banyak, dan berkumpul untuk buka puasa ini merupakan kegiatan sosial yang baik. Tetapi pada banyak tempat mereka menjadi arena untuk pamer, mengalahkan teman dan tampil dengan menu-menu yang berlebihan.

Ketika buka puasa berakhir, ada berbagai macam pilihan hiburan. Bagi mereka yang mudah bergaul akan keluar bersama teman-teman sepanjang malam, begadang sampai pagi. Keluarga lain akan tinggal di rumah untuk menonton berbagai film atau sinetron yang mendominasi Ramadhan.

Ini bukan merupakan komentar terhadap kualitas dari sinetron atau film, atau klaim dari sebagian ulama bahwa tontonan tersebut “kurang mendidik”. Ini hanya pengamatan terhadap sinetron atau film yang menarik perhatian pemirsa secara umum yang terjadi pada bulan Ramadhan dan mendapatkan keuntungan darinya. Dapat dimengerti bila penonton diajak pada hiburan tingkat tinggi tetapi secara tidak disadari menjadi teralih perhatiannya dari kesenangan untuk melakukan perenungan dan hubungan sosial dibulan Ramadhan.

Dan jangan lupakan berbelanja. Toko dibuka lebih malam daripada biasanya, dan tampaknya Ramadhan bukan untuk merenung pada malam hari, tetapi menjadi pendahuluan bagi Hari Raya, sebuah hari untuk menunjukkan baju baru anda. Festival belanja Ramadhan menjadi sesuatu yang lazim, sebagai suatu keharusan untuk membeli dan memberikan hadiah Hari Raya ke sebagian besar kenalan.

Bukannya mengurangi keinginan untuk mengkonsumsi, kita malah meningkatkan konsumsi selama 30 hari ini, baik di pasar wadai maupun di pasar.

Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa dunia Muslim sudah menjadi pesta pora konsumerisme sepanjang bulan – jauh dari itu semua. Suhu sosial dan spiritual masyarakat Muslim cukup tinggi dan masjid-masjid dipenuhi oleh jama’ah yang bersemangat.

Ketika makna relijius Ramadhan secara perlahan dipudarkan oleh status komersial dan budaya, lalu dia dirampok dari maknanya, akhirnya dari arti pentingnya. Hal itu persis seperti apa yang terjadi pada tahun 1960 saat presiden Tunisia, Habib Bourguiba, ingin membatalkan Ramadhan. Dia merasa bahwa meskipun Ramadhan adalah “tradisi yang baik”, tapi dia “melumpuhkan masyarakat kita”.

Ini adalah kisah yang baik tentang, bila hal-hal yang relijius berubah menjadi budaya, dia menjadi rentan untuk disalahgunakan.

Ada sebagian orang yang akan mengatakan bahwa saya merusak kesenangan dan terlalu suci. Pihak lain akan mengatakan bahwa jika ibu ingin memanjakan keluarganya dengan makanan lezat sesudah bekerja keras dengan puasa mereka sepanjang hari, maka itu adalah hak mereka. Ada orang yang akan mengatakan bahwa menghabiskan waktu dimalam hari dengan ngobrol kesana kemari di blauran atau menonton sinetron meningkatkan perasaan ikatan kemasyarakatan dan sosial.

Tidak diragukan lagi bahwa hasil kegiatan ini semuanya baik – bagian dari keajaiban Ramadhan. Dan tentu saja tidak ada kewajiban bagi kita tentang bagaimana mengisi Ramadhan. Anda tidak harus duduk di sajadah sepanjang hari. Tetapi saya melihat kecenderungan yang mengkhawatirkan bila anda memecah masing-masing dari kegiatan ini. Masing-masing mungkin dapat dibenarkan karena setiap orang memiliki pilihan, tetapi jika anda melihat kebelakang, anda mulai melihat bahwa makna dan konteks Ramadhan perlahan-lahan menghilang. Jika kita menerima pembenaran ini maka kita harus hati-hati dari membuka diri kita terhadap tuduhan munafik.

Tidak hanya Ramadan dan Hari Raya yang telah mengalami pencairan dan pembusukan makna dan dampaknya secara perlahan. Pegiat Kristen di Dunia Barat juga mengeluhkan bahwa Natal sudah kehilangan makna relijiusnya.

Perayaan-perayaan lain juga demikian, telah kehilangan maknanya. Paskah adalah tentang kelahiran kembali dan pembaruan, tetapi sekarang difokuskan pada telur-telur coklat dan kelinci lucu. Dan Lent (bulan puasa Masehi), yang mana selama 40 hari bersikap sederhana dan menahan diri – hampir sama dengan Ramadhan dalam etosnya – telah berubah wujudnya menjadi Mardi Gras (perayaan pada satu hari sebelum Lent), kue serabi dan pesta besar.

Sebagian orang akan berdiri bulu kuduknya melihat perbandingan antara bagaimana Natal telah direnggut oleh konsumerisme dengan kondisi Ramadhan. Tetapi kemiripannya sangat mengejutkan sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti diatas.

Anda tidak harus menjadi reliius untuk menghargai kontribusi besar dari makna sosial dan etik dari perayaan seperti Natal, Ramadhan dan Hari Raya pada moralitas masyarakat.

Untuk alasan ini, kaum Muslimin menyampaikan keluhan ini, sebagai bagian dari masyarakat beriman yang menyampaikan keprihatinan tentang pengeringan makna dan arahan moral dari kejadian-kejadian ini. Meskipun demikian, hal tersebut seringkali menjadi mengarahkan telunjuk pada Barat yang telah menjadi “kurang bertuhan” atau “mengalami dekadensi” karena maraknya komersialisasi, sementara menutup mata terhadap tantangan yang sama di dunia Muslim.

Apakah ini adalah kasus dimana kita menyalahkan orang lain dengan kesalahan yang sebenarnya ada pada diri kita sendiri?

Ramadhan tidak harus menjadi suatu pertapaan suci. Tentu saja tidak. Kesenangan, berbagi dan kebahagiaan dalam kebersamaan adalah komponen penting dari Ramadhan. Tetapi Ramadhan harus lebih dari sekedar kerakusan, berbelanja dan hiburan tanpa makna.

Kenyataannya, kita perlu mengenal dan menghargai tempat dari kesenangan material Ramadhan. Dengan jujur tentang pentingnya fisik, kita dapat mengurangi tingkat prioritasnya demi mengutamakan spiritual dan moral paling tidak selama 30 hari Ramadhan.

Pengurangan prioritas inilah yang membuat Ramadhan menjadi spesial. Dengan menahan pentingnya fisik, Ramadan membuat kita mengenal pentingnya spiritual individual kita, dan menemukan tempat kita seperti jiwa, bukan badan, dalam masyarakat dimana kita hidup.

Tentang Penulis
Shelina Zahra Janmohamed adalah seorang komentator Islam dari Inggris dan penulis buku “Love in a Headscarf”, sebuah riwayat hidup singkat tumbuh sebagai seorang wanita Muslim.

Sumber: Keeping Ramadan spirit alive

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Dayak Ngaju - Indonesia

Pengantar singkat Bahasa Dayak Ngaju (4)

Laki-laki adalah "qawwam" bagi perempuan