 |
Ustadz Suriani Jiddy, Lc |
Oleh: Ustadz
Suriani Jiddy, Lc
Kesepakatan
Ulama: hadits dhaif tidak boleh didasarkan untuk masalah aqidah dan hukum.
Masalah aqidah menyangkut keimanan dan perkara-perkara ghaib. Demikian juga
dalam menetapkan masalah halal dan haram. Untuk menetapkan hal-hal diatas
diwajibkan menggunakan hadits-hadits yang shahih.
Targhib –
memberikan motivasi dalam beramal, misalnya keutamaan membaca Qur’an,
shalat-shalat sunnah, shalat berjama’ah. Tarhib – ancaman, bagi orang yang
berdusta, dll. Kisah seperti sejarah hidup Nabi mulai dari kenabian sampai
wafat.
Pendapat ulama
tentang penggunaan hadits-hadits dhaif, ada yang mutlak menolak, mutlak
menerima dan menerima dengan bersyarat.
Pendapat pertama
·
Kalangan
yang secara mutlak menolak semua hadits dhaif
·
Bagi
mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apapun juga
·
Baik
masalah keutamaan
Pendapat kedua
·
Kalangan
yang menerima secara mutlak setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu
(maudhu’)
·
Bagi
mereka, sedhaif-daifnya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari
akal manusia dan logika
·
Imam
As-Suyuthi mengatakan bahwa mereka berkata, “Bila kami meriwayatkan hadits
masalah halal dan haram, kami ketatkan.
Pendapat ketiga
·
Kalangan
yang menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat
tertentu
·
Mereka
adalah kebanyakan ulama
Syarat-syarat
pendapat ketiga:
·
Hadits
dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifannya. Sedangkan hadits dhaif yang
perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau
parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
·
Hadits
itu punya asal yang menaunginya dibawahnya.
·
Hadits
ini hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan.
Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
·
Ketika
mengamalkannya, jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Hadits Nisfu
Sya’ban. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah. Status hadits, hadits
dengan redaksi diatas adalah hadits palu, karena perawi bernama Ibnu Abi Sabrah
statusnya tertuduh berdusta, sebagaimana keterangan Ibnu Hajar dalam At-Taqrib.
Imam Ahmad dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkomentar tentang Ibnu Abi Sabrah, “Dia
adalah perawi yang memalsukan hadits.” (Lihat Silsilah Dha’ifah, No. 2132)
Bagaimana cara
mengetahui status suatu hadits?
Kita harus
mendasarkan pada kitab-kitab ahli hadits, seperti Hadits Bukhari (196-256),
Hadits Muslim (204-261), Sunan Abu Dawud (202-275), Sunan Ibnu Majah (207-275),
Sunan Tirmidzi (210-279), Sunan An-Nasai (215-303). Bukhari dan Muslim
menyeleksi hadits-hadits yang mereka terima, sahih atau tidak. Sheikh
Nashirudin Al-Abani menyeleksi hadits-hadits dalam Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu
Majah. Selain itu juga ada buku Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’. Terjemah
Tamamul Minnah yang berisi koreksi hadits Fiqhus Sunnah. Shahih At-Targhib dan
At-Tarhib. Hadits-hadits dha’if dalam Riyadhus Shalihin. Hadits-hadits lemah
dan palsu dalam kitab Durratun Nashihin. Pengantar Studi Aqidah Islam. Beli
buku yang ada komentar tentang derajat hadits.
Bagaimana cara menyikapi
perbedaan pendapat ulama tentang status suatu hadits?
Prinsip
·
Masalah
memberikan penilaian otentisitas suatu hadits adalah masalah ijtihadiyah
·
Para
ulama yang memiliki kapasitas keilmuan dalam masalah ini punya otoritass untuk
melakukan ijtihad
·
Masalah
ijtihadiyah adalah masalah yang bersifat nisbi (relatif)
·
Dalam
masalah ijtihadiyah tak seorangpun boleh mengklaim bahwa dirinyalah yang mutlak
benar, dan yang lain mutlak salah
Imam Syafi’i:
Pendapat saya
benar, tapi bisa juga salah. Pendapat orang lain salah, tapi mungkin juga
benar.
Imam Malik:
Perkataan setiap
orang bisa diambil dan bisa juga ditolak, kecuali perkataan orang yang ada
dalam kubur ini (menunjuk kuburan Nabi Muhammad SAW)
Imam Ibnu Rajab
Al Hanbali:
Allah tidak
menginginkan sebuah kitab terjaga dari kesalahan kecuali kitab-Nya saja. Orang
yang adil adalah orang yang mau memaafkan sedikit kesalahan seseorang karena
kebaikan yang banyak dimilikinya.
Dr. Aidh Al
Qarni:
Janganlah pernah
menghina sebuah buku yang ditulis oleh seorang muslim. Karena tak jarang kita
temukan mutiara dalam tumpukan jerami.
Pendapat Ibnu
Taimiyah tentang qunut witir:
·
Hakekatnya,
qunut witir adalah sejennis do’a yang dibolehkan dalam shalat
·
Siapa
yang mau membacanya, silakan. Dan yang enggan pun silakan
·
Di
bulan Ramadhan, jika ia membaca qunut witir pada keseluruhan bulan Ramadhan,
maka itu baik.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar terhadap tulisan kami!