Oleh: Ustadz Suriani Jiddy, Lc
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka
hendaklah ia berkata yang baik atau diam (Hadits). Keadaan kita Cuma dua yaitu
bicara atau diam. Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa kalau bicara harus
baik, kalau tidak bisa maka diamlah. Apa standar kebaikan? Standar kebaikan
tidak dapat dikembalikan kepada orang per orang atau tradisi masyarakat
setempat atau kebiasaan yang dilakukan oleh manusia. Bila hal itu terjadi maka
kebaikan itu tidak memiliki standar yang jelas. Umpamanya kalau kebaikan itu
berdasarkan perkataan fulan bin fulan. Maka kebaikan itu mungkin tidak sama
dengan orang lain. Demikian juga bila didasarkan pada kebiasaan masyarakat. Di
Barat perzinahan itu biasa. Di Barat durhaka kepada orang tua itu biasa.
Dalam Islam, yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.
Agama kita memiliki landasan yang jelas yaitu Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
Kita boleh bicara, tapi pembicaraan kita harus baik, harus ada dasar ilmunya.
Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al A’raf, 7:
33)
Niat yang tidak ikhlas, i’tikad yang buruk, rencana jahat,
itu termasuk sesuatu yang tidak tampak. Meskipun belum ditulis sebagai sebuah
kejahatan, hal itu tetap dilarang.
Yang diharamkan Allah dalam surat ini:
- Perbuatan keji
- Perbuatan dosa
- Melanggar hak manusia
- Mempersekutukan Allah
- Berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu
Penjelasan Ibnul Qayyim tentang surat ini: Allah SWT telah
mengharamkan berkata tentang Allah tanpa ilmu (mencakup pembicaraan kita yang
mencakup nama, sifat serta tentang syariat Allah), berkata tentang Allah tanpa
dasar ilmu dijadikan oleh Allah sebagai dosa pelanggaran yang paling besar.
Bahkan Allah SWT menjadikan berkata tentang syariat Allah tanpa dasar ilmu,
keharamannya menempati posisi yang sangat tinggi sebagaimana dijelaskan oleh
Allah dalam ayat ini. Dimana Allah SWT mengurutkan sesuatu yang diharamkan itu
menjadi empat tingkatan. Allah mulai dengan perbuatan haram yang paling ringan
yaitu perbuatan keji (dusta, menipu, khianat), kemudian Allah sebutkan
tingkatan kedua yang lebih haram dari yang pertama yaitu dosa dan kezaliman.
Kemudian Allah sebutkan tingkatan yang ketiga yaitu perbuatan syirik. Kemudian
Allah sebutkan tingkatan keempat yang dosanya lebih besar dari tingkatan
sebelumnya yaitu berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu.
Perbuatan keji tidak berhubungan dengan orang lain.
Kezaliman merugikan orang lain. Syirik dosanya sangat besar. Kezaliman terhadap
manusia saja dosanya besar, apalagi kezaliman kepada Allah SWT. Allah punya dua
hak, hak disembah dan hak untuk tidak disekutukan.
Kita bicara tentang urusan dunia saja, kalau ngawur bisa
merugikan, apalagi kalau kita bicara masalah agama. Mengapa dosa berbicara
tanpa ilmu itu lebih besar dosanya daripada dosa berbuat syirik. Padahal Allah
tidak mengampuni bila dia disekutukan dan dia akan mengampuni dosa-dosa yang
lain. Penyebab kita berbuat syirik adalah karena kita bicara tentang Allah
tanpa ilmu.
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Q.S. An Nahl: 16)
Imam Ibnu Katsir: berdusta mengatasnamakan agama itu
termasuk di dalamnya bid’ah yang tidak memiliki landasan syar’i. Termasuk
berkata tanpa ilmu adalah bid’ah tanpa alasan syar’i atau menghalalkan segala
sesuatu yang Allah haramkan. Atau mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas Allah
halalkan, Cuma karena logikanya.
Bid’ah dianggap baik, karena dia dianggap ibadah. Imam
Ats-Tsauri: bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada perbuatan maksiat
karena orang yang berbuat bid’ah tidak mungkin bertaubat karena dia merasa itu
adalah ibadah.
Barangsiapa berkata mengatasnamakanku sesuatu yang aku tidak
pernah mengatakannya, maka dia akan menempati satu tempat di dalam api neraka
(HR. Bukhari)
Yusuf Qaradawi mengatakan bahwa ulama dulu sangat berhati-hati
terhadap sesuatu yang Allah tidak jelas-jelas menyatakan sesuatu itu haram atau
halal. Mereka cenderung mengatakan “saya tidak menyukainya”. Mengharamkan atau
menghalalkan adalah membubuhkan tanda tangan atas nama Allah SWT.
Abdullah bin Amar: saya mendengar Rasulullah bersabda
Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu begitu saja dari manusia kecuali Allah
mewafatkan para ulama. Kalau ulama wafat maka manusia mengangkat orang-orang
bodoh sebagai pemimpin. Para pemimpin ini kalau ditanya (tentang masalah agama,
kemaslahatan orang banyak) kemudian mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu
sehingga kemudian mereka menjadi sesat dan menyesatkan.
Kalau satu lafaz terdapat dalam Qur’an maka pemahamannya
harus dikembalikan kepada Qur’an itu sendiri. Ulama adalah terminologi Qur’an.
Ulama itu jama’, bentuk tunggalnya ‘alim. Allah jelaskan tentang ulama:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambaku adalah para ulama.
Ulama itu, sesuai dengan katanya berasal dari kata ilmu. ‘alim syaratnya berilmu.
Salah satu definisi ilmu oleh Imam Al Uza’i: Ilmu itu adalah
apa-apa yang dibawa oleh para sahabat Rasulullah SAW, kalau tidak demikian maka
tidak disebut ilmu. Yang dibawa para sahabat adalah Qur’an, Sunnah dan
pemahaman mereka terhadap Qur’an dan Sunnah.
Definisi lain tentang ilmu adalah takut. Definisi lain
adalah masalah ‘ubudiyah, mereka hanya menjadi hamba Allah SWT.
Apa yang terjadi bila para ulama ini wafat? Bila ulama tidak
ada lagi, manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Kita sampai
pada satu waktu yaitu tahun-tahun yang menipu. Para pengkhianat diberi amanat.
Sementara orang-orang yang jujur disingkirkan.
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang
membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S.
Al An’am, 6: 144).
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi: barangsiapa yang
berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya,
dan Allah telah berfirman:
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti
hawa nafsunya ...
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar terhadap tulisan kami!