Allah Akan Terus Memilih dan Mengajarkanmu: Refleksi Kisah Nabi Yusuf AS

Gambar
Ceramah inspiratif Ustadz Nouman Ali Khan mengangkat kisah Nabi Yusuf AS sebagai pelajaran hidup yang relevan dan membumi. Dalam ceramah tersebut, beliau mengajak kita memahami bahwa setiap ujian hidup adalah sarana untuk tumbuh, bukan untuk terpuruk dalam identitas sebagai korban. Kisah Dimulai dari Mimpi Ketika Yusuf kecil menceritakan mimpinya kepada sang ayah, Nabi Ya’qub AS, sang ayah tidak hanya memahami makna mimpi itu sebagai tanda kenabian, tetapi juga memberikan nasihat penting: "Jangan ceritakan kepada saudara-saudaramu." Mengapa? Karena ayahnya tahu, Yusuf akan menghadapi ujian besar, termasuk kecemburuan dan niat jahat dari saudara-saudaranya. Ujian yang Terus Datang Yusuf AS menghadapi serangkaian peristiwa traumatis: dikhianati, dibuang ke sumur, dijual sebagai budak, difitnah, dan dipenjara. Namun yang luar biasa, Yusuf tidak pernah menyebut dirinya sebagai korban. Ia justru melihat semua itu sebagai proses pembelajaran. Inilah makna dari pesan sang ayah:...

Larangan Berbicara Tanpa Ilmu

Oleh: Ustadz Suriani Jiddy, Lc

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam (Hadits). Keadaan kita Cuma dua yaitu bicara atau diam. Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa kalau bicara harus baik, kalau tidak bisa maka diamlah. Apa standar kebaikan? Standar kebaikan tidak dapat dikembalikan kepada orang per orang atau tradisi masyarakat setempat atau kebiasaan yang dilakukan oleh manusia. Bila hal itu terjadi maka kebaikan itu tidak memiliki standar yang jelas. Umpamanya kalau kebaikan itu berdasarkan perkataan fulan bin fulan. Maka kebaikan itu mungkin tidak sama dengan orang lain. Demikian juga bila didasarkan pada kebiasaan masyarakat. Di Barat perzinahan itu biasa. Di Barat durhaka kepada orang tua itu biasa.
Dalam Islam, yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Agama kita memiliki landasan yang jelas yaitu Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Kita boleh bicara, tapi pembicaraan kita harus baik, harus ada dasar ilmunya.

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al A’raf, 7: 33)

Niat yang tidak ikhlas, i’tikad yang buruk, rencana jahat, itu termasuk sesuatu yang tidak tampak. Meskipun belum ditulis sebagai sebuah kejahatan, hal itu tetap dilarang.

Yang diharamkan Allah dalam surat ini:
  • Perbuatan keji
  • Perbuatan dosa
  • Melanggar hak manusia
  • Mempersekutukan Allah
  • Berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu

Penjelasan Ibnul Qayyim tentang surat ini: Allah SWT telah mengharamkan berkata tentang Allah tanpa ilmu (mencakup pembicaraan kita yang mencakup nama, sifat serta tentang syariat Allah), berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu dijadikan oleh Allah sebagai dosa pelanggaran yang paling besar. Bahkan Allah SWT menjadikan berkata tentang syariat Allah tanpa dasar ilmu, keharamannya menempati posisi yang sangat tinggi sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam ayat ini. Dimana Allah SWT mengurutkan sesuatu yang diharamkan itu menjadi empat tingkatan. Allah mulai dengan perbuatan haram yang paling ringan yaitu perbuatan keji (dusta, menipu, khianat), kemudian Allah sebutkan tingkatan kedua yang lebih haram dari yang pertama yaitu dosa dan kezaliman. Kemudian Allah sebutkan tingkatan yang ketiga yaitu perbuatan syirik. Kemudian Allah sebutkan tingkatan keempat yang dosanya lebih besar dari tingkatan sebelumnya yaitu berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu.

Perbuatan keji tidak berhubungan dengan orang lain. Kezaliman merugikan orang lain. Syirik dosanya sangat besar. Kezaliman terhadap manusia saja dosanya besar, apalagi kezaliman kepada Allah SWT. Allah punya dua hak, hak disembah dan hak untuk tidak disekutukan.

Kita bicara tentang urusan dunia saja, kalau ngawur bisa merugikan, apalagi kalau kita bicara masalah agama. Mengapa dosa berbicara tanpa ilmu itu lebih besar dosanya daripada dosa berbuat syirik. Padahal Allah tidak mengampuni bila dia disekutukan dan dia akan mengampuni dosa-dosa yang lain. Penyebab kita berbuat syirik adalah karena kita bicara tentang Allah tanpa ilmu.

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Q.S. An Nahl: 16)

Imam Ibnu Katsir: berdusta mengatasnamakan agama itu termasuk di dalamnya bid’ah yang tidak memiliki landasan syar’i. Termasuk berkata tanpa ilmu adalah bid’ah tanpa alasan syar’i atau menghalalkan segala sesuatu yang Allah haramkan. Atau mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas Allah halalkan, Cuma karena logikanya.

Bid’ah dianggap baik, karena dia dianggap ibadah. Imam Ats-Tsauri: bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada perbuatan maksiat karena orang yang berbuat bid’ah tidak mungkin bertaubat karena dia merasa itu adalah ibadah.

Barangsiapa berkata mengatasnamakanku sesuatu yang aku tidak pernah mengatakannya, maka dia akan menempati satu tempat di dalam api neraka (HR. Bukhari)

Yusuf Qaradawi mengatakan bahwa ulama dulu sangat berhati-hati terhadap sesuatu yang Allah tidak jelas-jelas menyatakan sesuatu itu haram atau halal. Mereka cenderung mengatakan “saya tidak menyukainya”. Mengharamkan atau menghalalkan adalah membubuhkan tanda tangan atas nama Allah SWT.

Abdullah bin Amar: saya mendengar Rasulullah bersabda Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu begitu saja dari manusia kecuali Allah mewafatkan para ulama. Kalau ulama wafat maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Para pemimpin ini kalau ditanya (tentang masalah agama, kemaslahatan orang banyak) kemudian mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu sehingga kemudian mereka menjadi sesat dan menyesatkan.

Kalau satu lafaz terdapat dalam Qur’an maka pemahamannya harus dikembalikan kepada Qur’an itu sendiri. Ulama adalah terminologi Qur’an. Ulama itu jama’, bentuk tunggalnya ‘alim. Allah jelaskan tentang ulama: Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambaku adalah para ulama. Ulama itu, sesuai dengan katanya berasal dari kata ilmu. ‘alim syaratnya berilmu.

Salah satu definisi ilmu oleh Imam Al Uza’i: Ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa oleh para sahabat Rasulullah SAW, kalau tidak demikian maka tidak disebut ilmu. Yang dibawa para sahabat adalah Qur’an, Sunnah dan pemahaman mereka terhadap Qur’an dan Sunnah.

Definisi lain tentang ilmu adalah takut. Definisi lain adalah masalah ‘ubudiyah, mereka hanya menjadi hamba Allah SWT.

Apa yang terjadi bila para ulama ini wafat? Bila ulama tidak ada lagi, manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Kita sampai pada satu waktu yaitu tahun-tahun yang menipu. Para pengkhianat diberi amanat. Sementara orang-orang yang jujur disingkirkan.

Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al An’am, 6: 144).

Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi: barangsiapa yang berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:


Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya ...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Dayak Ngaju - Indonesia

Pengantar singkat Bahasa Dayak Ngaju (4)

Kode Pos di Kabupaten Kapuas