Oleh: Nouman Ali Khan
Dalam agama kita ada tanggung jawab kita kepada Allah dan ada tanggung jawab kepada orang-orang disekitar kita. Hubungan kita dengan Allah sangat sederhana. Itulah sebabnya kalau kita bersalah, maka do'a pertama di dunia adalah:
Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Q.S. Al A'raaf, 7: 23)
Allah tidak pernah berbuat zalim kepada manusia, sebagaimana firman-Nya:
Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (Q.S. Yunus, 10: 44)
Bila kita memperbaiki masalah tanggung jawab kita dengan Allah SWT maka tanggung jawab kita kepada manusia juga akan terselesaikan. Jika kita baik pada Allah, tapi tidak baik kepada orang tua, sebenarnya kita tidak baik kepada Allah.
Membicarakan masalah tanggung jawab manusia, seringkali masalah muncul bila pihak lain tidak mengerjakan tanggung jawabnya. Iblis senantiasa membuat kita lupa dengan tanggung jawab dan mengingatkan kita dengan hak kita. Hak dan kewajiban adalah dua hal yang terpisah.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum wanita,... (Q.S. An Nisa, 4: 34)
"Qawwam" berasal dari kata:
- Qiyam yang artinya berdiri. Kata ini juga merupakan akar kata yang sama dengan sifat Allah "qayyum" sebagaimana dalam ayat Kursi:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) ... (Q.S. Al Baqarah, 2: 255)
Qiyam menunjukkan adanya aktivitas; senantiasa terlibat dengan sesuatu; orang yang senantiasa aktif; kita membicarakan sesuatu yang tidak akan berjalan kalau kita tidak berlibat didalamnya.
Pada masa lalu ada seorang budak yang akan dijual, dia mengatakan kepada calon pembelinya, jangan beli saya, dia berkata:
Faiza ji'tu abghabtu qawman, waiza si'b ahbabtu nawman. Jika aku lapar, aku tidak melakukan apapun; jika aku kenyang, aku tidur.
Hubungan suami istri bukanlah hubungan yang bisa berjalan dengan sendirinya. Kita harus menjaga hubungan tersebut secara aktif. Cinta diantara suami istri harus terus dipertahankan, dipupuk. Kalau ada hati yang luka, harus disembuhkan. Pembicaraan harus berlangsung. Jangan cuma sama-sama satu atap. Banyak pasangan yang tidak berbicara satu sama lain. Laki-laki yang harus mengambil peran aktif dalam masalah ini.
Itulah sebabnya ketika perintah shalat disampaikan kepada para sahabat, Allah menggunakan kata "qiyam" karena untuk bisa shalat di Ka'bah mereka harus berhadapan dengan penyiksaan.
Para Ashabul Kahfi harus mengungkapkan ketauhidan ditengah kemusyrikan, Allah menggunakan kata-kata:
"iz qaamu faqaalu" ... diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata.. (Q.S. Al Kahfi, 18: 14)
Ini menggambarkan komitmen mereka. Kita harus komitmen dengan hubungan kita.
- Tsabat (teguh, konstan). Dari sini muncul kata qiwam yang artinya tiang dari sebuah bangunan. Sesuatu yang bisa dijadikan sebagai tempat bergantung.
- Qiima (nilai) - suami harus bisa membuat wanitanya merasa bahwa dirinya sangat berharga. Kita menghargainya. Kita membuatnya tahu bahwa dia cantik. Kita seringkali melakukan sebaliknya. Jangan sampai wanita merasa dia tidak berharga disamping suaminya.
Ayat ini tidak hanya menyangkut istri, tapi perlakuan untuk semua wanita.
Banyak wanita yang melaporkan bahwa mereka banyak masalah dengan mertua. Suami harus bertanggung jawab agar istri tidak mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Suami harus menjadi pelindung istri dan juga sekaligus sebagai matahari bagi orang tuanya.
Pernikahan adalah "mitsaqan ghaliza" ikatan yang kuat. Istri dan mertua perempuan harus ada saling menghormati. Istri tidak harus melayani mertua.
Khairukum, khairukum li ahlihi.Yang terbaik diantara kamu adalah yang terbaik kepada keluarganya.
Tiga macam kekerasan:
- Kekerasan fisik. Rasulullah bersabda: Jangan pukul budak perempuan Allah. Allah menunjukkan bahwa wanita adalah milik Allah. Ketika kita melakukan kekerasan kepada wanita maka kita akan berhadapan dengan Allah.
- Kekerasan emosional. Suami istri harus ada saling percaya. Bisa verbal atau tidak. Bisa dalam cara memandang. Bisa dalam cara kita menjawab. Bisa dengan tidak mengatakan apapun.
- Kekerasan spiritual. Ketika ada kesalahan, lalu firman Allah atau hadits dikutip.
Berhadapan dengan istri dan ibu, kadang-kadang kita harus berada pada salah satu sisi sesuai dengan masalah yang dihadapi.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar terhadap tulisan kami!