Kandungan bab ini:
Pertama
Perbedaan antara perjanjian Allah dan perjanjian Nabi-Nya
dengan perjanjian kaum Muslimin. Dalam syarah kitab Tauhid (Syaikh Utsaimin):
Perjanjian Allah dan perjanjian Nabi-Nya sama. Contoh janji manusia kepada
Allah
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari)
Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah
berfirman: "Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu
mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan
kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik
sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan
Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka
barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat
dari jalan yang lurus (Q.S. Al Maidah, 5: 12).
Perjanjian kita dengan Allah SWT adalah menyembah Allah
semata dan tidak menyekutukan-Nya
Kalau ada manusia yang tidak menyembah Allah dan
menyekutukannya, berarti dia sudah menyalahi janjinya
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku
anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi
janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk). (Q.S. Al Baqarah, 2: 40)
Salah satu tanda munafik adalah tidak menepati janji
sebagaimana hadits Rasulullah:
Tanda munafik ada tiga, bila berkata dia dusta, bila
berjanji mengingkari dan bila diberi amanah dia khianat.
Allah punya janji kepada kita yaitu tidak akan mengazab
siapa saja yang tidak menyekutukannya.
Janji kita kepada Rasulullah SAW adalah hendaklah kita
senantiasa mengikuti sunnahnya, dan jangan membuat perkara-perkara baru
(bid’ah). Rasulullah pun punya janji kepada kita yaitu akan menyampaikan semua
yang beliau terima dari Allah SWT dan tidak menyembunyikan sesuatupun walaupun
sedikit.
Kedua
Petunjuk Rasulullah SAW untuk memilih salah satu pilihan
yang paling ringan resikonya dari dua pilihan yang ada.
Syaikh Muhammad Utsaimin mengatakan bahwa ini adalah kaidah
yang sangat penting yaitu mengambil kerusakan yang paling ringan untuk
menghindari kerusakan yang lebih besar. Contoh ketika ada orang Badui masuk ke
dalam masjid. Dia mencari salah satu pojok masjid dan kencing di sana. Para
sahabat ingin mencegah atau ingin memukulnya, tetapi Rasulullah mencegah dengan
mengatakan: Biarkan dia menyelesaikan kencingnya dan menyuruh salah seorang
sahabat untuk menyiram bekas kencing tersebut.
Kita tidak boleh mencegah kemungkaran yang kita lihat, jika
dengan tindakan kita menghentikan kemungkaran tersebut meninggalkan mudharat
yang lebih besar.
Contoh lain:
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. Al An’aam, 6:
108)
Syaikh Utsaimin mengatakan ketika kita merendahkan
Tuhan-Tuhan orang musyrik itu merupakan perkara yang diperlukan, tetapi kalau
cacian kita itu menyebabkan mereka kemudian mencaci Allah SWT maka hal itu
dilarang. Karena bahaya menghina Allah, mencaci Allah adalah lebih besar
daripada kerusakan yang ditimbulkan karena kita diam, tidak menghina Tuhan-Tuhan
yang mereka sembah. Walaupun diamnya kita, tidak menghina Tuhan-Tuhan mereka
itu ada kerusakan.
Meninggalkan maslahat yang lebih kecil untuk mendapatkan
maslahat yang lebih besar. Contohnya dalam pilkada itu ada beberapa calon. Syarat
jadi pemimpin adalah berilmu. Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman
taatlah kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri dari kalian.
Sebagian mengatakan bahwa ulil amri adalah ulama. Jadi taat
kepada ulama adalah wajib. Kedua, yang dimasuk ulil amri adalah umara
(pemerintah atau penguasa). Pendapat ketiga, ulil amri adalah umara yang ulama.
Seorang pemimpin (amir) haruslah seorang yang alim. Seorang
pemimpin haruslah berilmu. Orang yang tidak berilmu tidak boleh jadi pemimpin.
Kalau non-Muslim
dengan muslim, jelas, karena kita pilih yang Muslim. Kalau sama-sama Muslim,
maka ini yang susah, mana yang lebih memberi maslahat. Maka dipakai kaidah:
mana yang lebih ringan mudharatnya.
Ketiga
Etika dalam
berjihad, yaitu supaya menyeru dengan ucapan: „bismillah fi sabilillah“
Jihad ini
dalam pengertian perang. Jihad
itu tidak selalu berkonotasi perang. Tidak semua peperangan bisa disebut jihad.
Berperang di jalan Allah merupakan jihad yang paling tinggi.
Orang-orang yang
berhak menerima zakat (mustahik) ada delapan. Salah satu yang punya hak
menerima zakat (mustahik) adalah „fi sabilillah“.
Yusuf
Qaradawi mengutip pendapat para ulama: jihad dalam makna luas dan dalam makna
sempit. Dalam makna sempit, zakat diberikan kepada kaum Mujahidin yang
berperang di jalan Allah atau diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Adapun
jihad dalam makna luas adalah setiap kegiatan yang dimaksudkan untuk
meninggikan kalimat Allah, apapun bentuknya.
Maka dalam
bab ini (bab jihad) kita boleh membagikan zakat untuk pembangunan masjid. Kalau
kita cari di dalil tersebut tidak ada. Jadi ini masuk dalam “fi sabilillah”.
Dalam
berperang, ada etikanya. Pertama adalah “bismillah fi sabilillah”. Ada orang
yang berjihad niatnya bukan karena Allah misalnya ingin dapat jabatan, ingin
dapat harta rampasan perang, ingin terkenal. Ada juga orang yang berperang di
jalan thaghut.
Sebagian
ulama memasukkan zakat fitrah ke dalam zakat harta, sehingga boleh digunakan
untuk pembangunan masjid. Ada yang tidak boleh dengan dalil bahwa zakat fitrah
diberikan untuk orang-orang miskin.
Keempat
Perintah
untuk memerangi orang-orang yang kafir kepada Allah.
Jangan-jangan
orang yang mudah membunuh membaca seperti ini, lalu salah paham. Mereka yang
suka membuat teror, karena mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Yang pertama dikafirkan oleh mereka adalah pemerintah dengan dalil
“barangsiapa
yang tidak berhukum dengan hukum Allah Allah adalah orang-orang kafir”
Jadi menurut
mereka semua aparat pemerintah adalah kafir, jadi boleh diperangi. Itulah
pentingnya memiliki ilmu.
Bila ada
yang membunuh karena faktor kafir maka itu adalah faktor ideologis. Bila mereka
menganggap bahwa aparat ada dendam, maka itu bukan faktor ideologis.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar terhadap tulisan kami!