Nana Asma'u: Kisah Inspiratif Perempuan Muslim Afrika Barat

Gambar
Gambar ini hanya ilustrasi Nana Asma'u binti Uthman (1793-1864) adalah seorang cendekiawan Muslim dan penyair ulung dari Sahel, Afrika Barat. Ia putri dari Shaykh Uthman ibn Muhammad ibn Uthman ibn Salih (wafat 1817), yang lebih dikenal sebagai Uthman dan Fodio, pendiri kekhalifahan Sokoto yang kuat dan salah satu ulama terkemuka dalam bidang hukum, sufisme, dan tata pemerintahan di awal era modern. Tumbuh dalam lingkungan yang mencintai puisi, Nana Asma'u memanfaatkan puisi sebagai sarana untuk mengajarkan Al-Qur'an, menyebarkan nilai-nilai Islam, mengenang tokoh-tokoh penting, dan melestarikan sejarah bangsanya. Saudara laki-lakinya, Muhammad Bello, yang menggantikan ayahnya sebagai khalifah, juga menulis banyak karya puisi dan prosa tentang ilmu-ilmu Islam, serta mencatat sejarah suku Fulani, terutama perubahan besar yang terjadi di bawah kepemimpinan ayah mereka. Asma'u hidup di masa revolusioner dan menyaksikan konsolidasi kekhalifahan Sokoto. Ia sosok yang tabah, ...

Muhasabah diakhir tahun 2017 - Ustadz Amanto Surya Langka, Lc

Agenda tahun baru sebagai titik awal kegiatan tahun mendatang. Indonesia menggunakan kalender ini. Karena kita masih menggunakan kalender masehi, muhasabah menjadi satu tema penting yang kita sampaikan. Seringkali kita menterjemahkan muhasabah dengan introspeksi dan koreksi terhadap apa yang sudah dilakukan pada tahun tersebut.

Ibnu Qayim Al Jauzi membagi muhasabah itu menjadi 2:
·         Muhasabah sebelum amal
·         Muhasabah setelah amal

Dalil muhasabah adalah 

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Hasyr, 59: 18)

Muhasabah sebelum beramal justru lebih penting daripada muhasabah setelah amal. Muhasabah sebelum beramal adalah prediksi dan antisipasi. Ada empat langkah yang harus dilakukan:

1.       Tanya pada diri kita apakah sanggup kita melakukan perbuatan itu. Kalau kita tidak sanggup sejak awal tidak perlu dilakukan.

2.       Apakah perbuatan itu bagus kita kerjakan atau kita tinggal. Ada pekerjaan yang mampu dikerjakan, tapi pada momentum yang tidak tepat. Misalnya mengingatkan orang tua, kalau momentumnya tidak pas, sebaiknya ditinggalkan. Sama halnya dengan share tulisan di media social. Tatkala jawabannya bagus untuk kita kerjakan maka pertanyaan berikutnya adalah:

3.       Apakah kita melakukannya ikhlas atau tidak. Jangan-jangan ambisi pribadi, jangan-jangan dorongannya dendam. Ini berpulang pada kejernihan hati orang. Kalau sejak awal kita merasa tidak ikhlas, lebih baik tidak dikerjakan, meskipun sanggup dan baik. Ini paling berat karena kita bicara dengan diri sendiri. Muhasabah adalah saling membuat perhitungan. Dialognya ada dalam diri sendiri. Tatkala hasil muhasabah ikhlas maka lanjutkan ke yang ke-4

4.       Perlu amal jama’I atau tidak untuk mengerjakan amalan itu? Perlu ta’awun atau tidak. Apa perlu kita kerjakan sendiri. Beliau mencontohkan hijrah Rasul yang tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Jelas hijrah itu sanggup dilakukan, baik dikerjakan, jelas ikhlas dikerjakan. Kalau beliau berangkat sendiri, mungkin tidak akan sukses. Beliau keluar rumah sudah dihadang. Ali mau tidur di pembaringan. Disertai oleh Abu Bakar Ash-Shidiq. Dibantu oleh Asma’ binti Abu Bakar yang mengantar makanan ke gua Tsur. Ada bantuan Abdullah bin Abu Bakar yang menghilangkan jejak. Ada orang musyrik (Abdullah bin Uraiqith) yang membantu menunjukkan jalan. Perjalanan sukses karena banyak yang membantu. Bila kita perlu “team work” untuk kerja dakwah, kerja politik. Bila jawaban semuanya ‘ya” maka sukses itu tidak akan luput.

Kita memerlukan muhasabah seperti ini. Adapun muhasabah setelah beramal ada tiga hal:

1.       Sebuah aktivitas yang sudah dikerjakan, sebaiknya ditinggalkan. Mengapa membeli, mengapa melangkah kesana? Kalau perlu mengamputasi kalau buruk. Kalau sudah nasi jadi bubur, kita taubat dan tidak mengulangi lagi. Kenapa saya share, sehingga banyak yang rebut.

2.       Muhasabah terhadap perkara-perkara mubah yang kurang landasan keikhlasan lillahi ta’ala. Seringkali timbulnya niat pada masalah ritual, sehingga kita mengabaikan masalah mubah yang perlu juga diniatkan lillahi ta’ala. Makan, minum, tidur, istirahat, lari pagi, jalan kaki, perlu diniatkan kepada Allah agar membiasakan jiwa untuk tidak syirik (tidak mendua). Kalau dalam masalah mubah sudah ikhlas, apalagi masalah ibadah. Masak dan pekerjaan rumah bila dikerjakan karena Allah, memudahkan kita dalam amal-amal lainnya.


3.       Yang masih kurang maksimal, yang belum saya kerjakan secara layak. Misalnya masalah shalat, apakah dikerjakan secara layak. Shalat berjama’ah, khusyu’ dan tidaknya. Perkara ketaatan yang jelas-jelas perintahnya yang perlu kita perbaiki disana sini. Masalah shalat saja pada sebagian orang perlu langkah, misalnya ada orang shalat hanya di rumah saja. Ada yang baru tahu bahwa jama’ah lebih baik. Tapi baru jama’ah di rumah. Kemudian jama’ah di rumah. Safnya dari di belakang ke depan. Dari belum khusyu’ ke khusyu’. Istiqomah itu yang berat. Wastaqim kama umirta. Rasulullah mengatakan bahwa ketika turun ayat ini, rambutku beruban. Perintah ini berat sekali. Kita ini banyak melakukan sesuatu belum sesuai perintah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Dayak Ngaju - Indonesia

Pengantar singkat Bahasa Dayak Ngaju (4)

Laki-laki adalah "qawwam" bagi perempuan