Allah Akan Terus Memilih dan Mengajarkanmu: Refleksi Kisah Nabi Yusuf AS

Gambar
Ceramah inspiratif Ustadz Nouman Ali Khan mengangkat kisah Nabi Yusuf AS sebagai pelajaran hidup yang relevan dan membumi. Dalam ceramah tersebut, beliau mengajak kita memahami bahwa setiap ujian hidup adalah sarana untuk tumbuh, bukan untuk terpuruk dalam identitas sebagai korban. Kisah Dimulai dari Mimpi Ketika Yusuf kecil menceritakan mimpinya kepada sang ayah, Nabi Ya’qub AS, sang ayah tidak hanya memahami makna mimpi itu sebagai tanda kenabian, tetapi juga memberikan nasihat penting: "Jangan ceritakan kepada saudara-saudaramu." Mengapa? Karena ayahnya tahu, Yusuf akan menghadapi ujian besar, termasuk kecemburuan dan niat jahat dari saudara-saudaranya. Ujian yang Terus Datang Yusuf AS menghadapi serangkaian peristiwa traumatis: dikhianati, dibuang ke sumur, dijual sebagai budak, difitnah, dan dipenjara. Namun yang luar biasa, Yusuf tidak pernah menyebut dirinya sebagai korban. Ia justru melihat semua itu sebagai proses pembelajaran. Inilah makna dari pesan sang ayah:...

Ketika Masalah Kecil Menguasai Hidup Kita


Pernahkah Anda merasa sangat kesal hanya karena hal kecil? Seseorang meminum minuman Anda, tidak membalas pesan, atau bahkan datang ke acara dengan baju yang sama. Hal-hal sepele seperti ini terkadang bisa membuat kita terdiam, marah, atau bahkan merasa patah semangat.

Ternyata, masalahnya bukan pada minuman atau pesan tadi. Dalam lubuk hati, kita tahu ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang terganggu.

Dalam Surah Al-Ma’arij ayat 20, Allah menggunakan kata massa, yang berarti "sentuhan paling ringan". Bukan pukulan, bukan hantaman, melainkan gangguan kecil seperti angin sepoi atau bisikan setan. Tapi gangguan kecil ini bisa cukup kuat untuk membuat emosi kita runtuh.

Allah menggambarkan kondisi ini dengan kata jazu’a, yaitu ketika seseorang mengalami keruntuhan batin. Ia bukan sekadar sedih, tapi benar-benar kehilangan kekuatan, harapan, dan arah hidup. Masalah kecil berubah menjadi luka yang terasa besar.

Ini bukan masalah kepribadian. Ini adalah kondisi spiritual.

Bayangkan seorang jenderal yang tengah memimpin perang penting. Tapi tiba-tiba ia terganggu oleh seekor nyamuk dan menghabiskan waktunya memikirkan nyamuk itu. Masalahnya bukan pada nyamuk, tapi pada cara pandangnya yang menyempit.

Begitulah yang sering terjadi pada kita. Kita diciptakan untuk misi mulia—melanjutkan warisan para nabi. Tapi hidup kita dipenuhi kekhawatiran kecil: jangan sampai menyinggung keluarga, tampil bagus di depan orang, atau tidak kalah gaya saat Lebaran.

Allah tidak menciptakan kita untuk sekadar menang dalam perdebatan atau tampil paling keren. Kita diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar.

Ketika hidup tidak memiliki tujuan besar, pandangan kita mengecil. Segalanya terasa tentang “aku”—perasaanku, keinginanku, kekecewaanku. Akhirnya, kita menjadi pribadi yang halu’a—mudah cemas, mudah tersinggung, dan selalu merasa tidak puas.

Ini bukan soal kepribadian. Ini soal kita yang terputus dari ruh. Padahal, ruh itu ditiupkan langsung oleh Allah, dimuliakan melebihi para malaikat, dan bahkan membuat Iblis iri. Tapi kita hidup seolah ruh itu tidak ada.

Iblis tidak perlu mendorong kita melakukan kejahatan besar. Cukup membuat kita lupa siapa diri kita sebenarnya—terjebak pada penampilan, status, dan harta. Terlalu sibuk dengan hal-hal kecil, hingga lupa pada jiwa yang terlupakan.

Lalu bagaimana kita bisa pulih?

Allah memberikan jawabannya dalam ayat berikutnya: “Kecuali orang-orang yang shalat…” (QS. Al-Ma’arij: 22). Bukan shalat asal-asalan, tapi shalat yang menjadi tempat kita kembali—kepada Allah, kepada ruh, dan kepada misi hidup yang sebenarnya.

Shalat yang seperti ini menenangkan hati. Ia mengikat kita pada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kejadian hari ini.

Sumber: Nouman Ali Khan, Bayyinah, 9 Mei 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Dayak Ngaju - Indonesia

Pengantar singkat Bahasa Dayak Ngaju (4)

Kode Pos di Kabupaten Kapuas