Pernikahan dan Peran Gender dalam Islam: Melampaui Sekadar Hak dan Kewajiban

 


Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan, banyak anak muda—bahkan pasangan yang sudah menikah—mulai bertanya: Masih relevankah pernikahan? Bagaimana seharusnya peran suami dan istri dalam Islam di era sekarang, ketika biaya hidup naik, keduanya sama-sama lelah bekerja, dan media sosial memamerkan “rumah tangga sempurna” yang terasa jauh dari kenyataan?

Tulisan ini merangkum gagasan bahwa pernikahan dalam Islam bukan hanya soal daftar hak dan kewajiban, tetapi sebuah amanah suci yang dibangun di atas kasih sayang, tanggung jawab, dan akhlak mulia.


1. Pernikahan dalam Al-Qur’an dan Sunnah: Lebih dari Sekadar Kontrak

Al-Qur’an menggambarkan pernikahan sebagai tanda kebesaran Allah, tempat manusia menemukan ketenangan (sakinah), kasih sayang (mawaddah), dan rahmat. Pernikahan bukan sekadar “status sosial” atau “legalitas hubungan”, melainkan jalan ibadah yang menyatukan dua jiwa untuk saling menolong menuju ridha Allah.

Nabi ﷺ menegaskan bahwa:

  • Pernikahan adalah jalan menjaga kehormatan diri.

  • Hubungan suami istri yang halal bernilai sedekah.

  • “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.”

Dengan kata lain, ukuran kebaikan seseorang dalam Islam tidak hanya tampak di masjid atau di ruang publik, tetapi sangat terlihat dari caranya memperlakukan pasangan di rumah.

Islam juga memerintahkan agar suami istri saling memperlakukan satu sama lain bil-ma’ruf—yakni dengan cara yang diakui baik oleh masyarakat yang sehat, penuh hormat, wajar, dan beradab. Konsep ma’ruf ini menunjukkan bahwa Islam tidak kaku: nilai dasar tetap sama, tetapi bentuk praktik bisa beradaptasi dengan budaya dan situasi selama tidak melanggar syariat.


2. Hak dan Kewajiban Minimum Menurut Fikih

Dalam tradisi hukum Islam (fikih), para ulama menyusun aturan sebagai “batas minimal” yang bisa ditegakkan di pengadilan: apa saja hak dan kewajiban yang jelas dan bisa dituntut.

Beberapa di antaranya:

  1. Mahar (dower)

    • Wajib diberikan suami kepada istri saat akad.

    • Bentuk dan jumlahnya fleksibel: bisa berupa uang, barang, atau hal bermanfaat seperti mengajarkan Al-Qur’an.

    • Besar kecilnya disesuaikan kemampuan dan kesepakatan.

  2. Nafkah (tanggung jawab finansial suami)

    • Suami wajib menanggung kebutuhan pokok istri dan anak: tempat tinggal, makanan, pakaian, dan kebutuhan dasar lain sesuai standar wajar di masyarakat (bil-ma’ruf).

    • Jika suami sengaja menelantarkan nafkah, istri boleh menuntut secara hukum, bahkan pada kondisi tertentu bisa meminta cerai.

  3. Qiwamah (tanggung jawab kepemimpinan suami)

    • Ayat “Ar-rijaalu qawwaamuuna ‘alan nisaa’” dipahami sebagai penegasan bahwa suami memikul beban tanggung jawab finansial dan perlindungan moral atas keluarga, bukan lisensi untuk bertindak sewenang-wenang.

  4. Ketersediaan untuk hubungan intim

    • Hubungan intim adalah hak bersama, bukan senjata untuk saling menyakiti.

    • Istri dianjurkan merespons ajakan suami, dan sebaliknya suami dituntut lembut dan peka terhadap kondisi istri.

    • Syariat melarang paksaan dan melindungi istri saat haid, sakit, atau dalam kondisi yang membahayakan.

Aturan-aturan ini adalah kerangka dasar, bukan gambaran lengkap bagaimana seharusnya rumah tangga ideal dijalankan.


3. Di Atas Hukum Ada Ihsan: Etika Rumah Tangga

Poin penting yang perlu kita sadari: yang halal secara hukum belum tentu otomatis mulia secara akhlak. Hukum menetapkan “batas minimal”, sedangkan akhlak mengajak kita menuju standar tertinggi.

Beberapa contoh:

  1. Nafkah dan kesehatan istri
    Dahulu, biaya pengobatan tidak selalu dibahas sebagai nafkah wajib karena layanan kesehatan belum seperti sekarang dan keluarga besar biasanya saling menopang.
    Di zaman modern, ketika berobat itu mahal dan istri mungkin tidak punya penghasilan, membantu biaya kesehatan bukan lagi sekadar “bonus”, tapi keharusan moral.

  2. Ekonomi keluarga dan kontribusi istri
    Hukum dasar: suami yang wajib menafkahi. Namun realitas saat ini: harga kebutuhan melambung, kadang satu gaji tidak cukup.
    Dalam kondisi seperti ini, bila istri bekerja dan rela membantu keuangan keluarga, itu termasuk amal shalih yang besar pahalanya—bukan bentuk penindasan, selama dilakukan secara sukarela, komunikatif, dan adil terhadap kesehatan fisik dan mentalnya.

  3. Kepemimpinan yang bermusyawarah
    Qiwamah seharusnya bukan gaya “bos dan bawahan”, tetapi kepemimpinan yang penuh tanggung jawab, mendengar pandangan istri, bermusyawarah, dan mengutamakan kemaslahatan keluarga.
    Istri yang mendukung, menghargai keputusan suami yang matang, dan tetap menyampaikan pandangan secara santun, ikut menjaga harmoni rumah tangga.

  4. Intimasi yang lembut dan penuh empati
    Para ulama membahas adab hubungan suami istri: kelembutan, foreplay, memperhatikan perasaan pasangan, dan menghindari kekerasan.
    Kelelahan, stres, masa nifas, perubahan hormon, dan masalah psikologis perlu dipahami, bukan disalahkan. Empati di sini menjadi bagian dari ibadah.

Tanpa etika, rumah tangga akan terasa “kering”, meski secara hukum sah. Dengan etika, hal-hal kecil di rumah—menyapu, menyiapkan teh, mengurus anak, menemaninya saat lelah—bisa berubah menjadi amal yang bernilai di sisi Allah.


4. Rumah Tangga Muslim dalam Sejarah: Tidak Seragam

Sering kita membayangkan bahwa “rumah tangga Islami” bentuknya hanya satu: suami bekerja di luar, istri penuh di rumah. Padahal, catatan sejarah menunjukkan praktik yang beragam.

a. Pembagian kerja di rumah

  • Banyak sahabat wanita yang mengurus pekerjaan rumah: memasak, menggiling gandum, mengasuh anak.

  • Namun Nabi ﷺ juga digambarkan membantu pekerjaan rumah: menambal sandal, menjahit pakaian, menyapu rumah.
    Ini menunjukkan bahwa bantuan suami di rumah adalah teladan, bukan hal memalukan.

b. Perempuan yang bekerja dan berpenghasilan

  • Di berbagai masa, banyak perempuan bekerja: menjadi bidan, pedagang, penenun kain, pengajar, dan lain-lain.

  • Ada istri yang membantu keuangan keluarga, bahkan menanggung penuh ketika suami sakit atau lemah secara ekonomi.

  • Ada pula yang menggunakan hartanya untuk wakaf: membangun masjid, sekolah, atau fasilitas umum.

Artinya, Islam tidak menutup ruang bagi perempuan untuk berperan di ranah publik dan mandiri secara finansial, selama tetap menjaga adab dan prioritas keluarga.

c. Mahar yang fleksibel

Praktik mahar sangat beragam: ada yang besar, ada yang sederhana, ada yang tunai, ada yang dicicil, bahkan ada yang berupa pengajaran Al-Qur’an. Semua sah sesuai syariat selama disepakati dan tidak menzalimi.

d. Dinamika karakter dan komunikasi

Bahkan di masa sahabat, ada daerah di mana para istri dikenal lebih “vokal” dan kritis, ada yang lebih lembut dan sangat patuh. Nabi ﷺ tidak menyeragamkan semuanya, selama masih dalam koridor adab dan tidak melanggar batas syariat.

Pesannya jelas: rumah tangga yang Islami bisa punya “gaya” yang berbeda-beda, tergantung karakter dan budaya, selama nilai dasarnya sama: rahmat, keadilan, dan tanggung jawab.


5. Tantangan Zaman Kini dan Sikap yang Perlu Kita Bangun

Hari ini, keluarga Muslim menghadapi tekanan besar:

  • Biaya hidup tinggi, sering memaksa suami istri sama-sama bekerja.

  • Dukungan keluarga besar berkurang; kakek-nenek, paman, bibi, tetangga tidak selalu tersedia membantu.

  • Media sosial sering membuat kita membandingkan rumah tangga sendiri dengan “versi editan” orang lain.

  • Narasi tentang gender di luar sana sering ekstrem: antara yang menolak agama sama sekali, atau yang mengatasnamakan agama untuk membenarkan kekerasan dan ketidakadilan.

Dalam kondisi seperti ini, solusi bukan sekadar meneriakkan “kembali ke tradisi” tanpa memahami situasi, tetapi:

  1. Memahami fondasi syariat: hak, kewajiban, dan batas-batas yang jelas.

  2. Menghidupkan akhlak mulia: empati, musyawarah, kesabaran, dan saling menolong.

  3. Menyadari bahwa pembagian peran bisa dinegosiasikan sesuai kemampuan, kesehatan, dan kondisi ekonomi, selama prinsip syariat terjaga.

  4. Menata niat: pekerjaan rumah, mencari nafkah, atau mengasuh anak bukan sekadar rutinitas, tetapi bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah.

Kadang, kenyataannya tidak ideal: satu pihak merasa menanggung lebih banyak kerja, yang lain kurang peka. Selama tidak ada kekerasan dan kedzaliman berat, keteguhan untuk tetap berusaha memperbaiki, memaafkan, dan berkomunikasi dengan baik bisa menjadi amal yang sangat dicintai Allah.


Penutup: Menjahit Rumah Tangga dengan Niat Ibadah

Pernikahan dalam Islam bukan proyek dua tahun pertama, tetapi perjalanan seumur hidup. Di dalamnya ada lelah, kecewa, dan salah paham, tetapi juga ada kesempatan besar untuk:

  • Belajar mengendalikan ego,

  • Melatih empati,

  • Berkorban untuk orang lain,

  • Dan membangun generasi yang lebih baik.

Jika pernikahan kita belum “sempurna”, itu wajar. Yang penting, kita terus belajar, terbuka berdialog dengan pasangan, dan mengembalikan orientasi rumah tangga kepada ridha Allah.

Mungkin usaha kita tidak selalu terlihat oleh pasangan, keluarga, atau masyarakat. Namun Allah adalah Asy-Syakuur, Zat yang selalu menghargai sekecil apa pun kebaikan. Dalam dunia yang kian individualis, mungkin justru rumah-rumah tangga yang bertahan dengan sabar dan saling menguatkan itulah yang diam-diam sedang menjaga keberlangsungan umat.

Semoga Allah menjadikan keluarga-keluarga di Kapuas dan di mana pun berada sebagai rumah-rumah yang dipenuhi sakinah, mawaddah, dan rahmah. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Dayak Ngaju - Indonesia

Pengantar singkat Bahasa Dayak Ngaju (4)

Kode Pos di Kabupaten Kapuas