Setiap anak berhak atas kehidupan, keamanan, dan masa depan. Namun, di Palestina, hak-hak paling mendasar ini direnggut secara sistematis dan tanpa henti. Bertepatan dengan Hari Anak Palestina (yang dicanangkan oleh mendiang Presiden Yasser Arafat pada tahun 1995 untuk menyoroti ketidakadilan terhadap anak-anak Palestina di bawah pendudukan), sebuah simposium global bertajuk "Not Another Child" (Jangan Ada Lagi Anak yang Menjadi Korban) digelar secara live pada 7 April 2025. Acara penting ini diselenggarakan oleh Doctors Against Genocide (Dokter Melawan Genosida) bekerja sama dengan Palestine-Global Mental Health Network dan Healthcare Workers for Palestine. Simposium ini menjadi wadah untuk menyuarakan kepedihan, mengungkap fakta, dan menyerukan aksi nyata demi melindungi generasi penerus Palestina.
Realitas Pahit Anak-Anak Palestina: Angka dan Kisah Pilu
Para pembicara dalam simposium memaparkan kenyataan mengerikan yang dihadapi anak-anak Palestina setiap hari. Dr. Nadal Jabour dari Doctors Against Genocide mengungkapkan data yang membuat miris:
Lebih dari 16.000 anak telah terbunuh dan 34.000 lainnya terluka dalam 18 bulan terakhir (sejak eskalasi Oktober 2023).
Hampir 1 juta anak di Gaza terpaksa mengungsi berkali-kali, rumah mereka hancur lebur.
Ratusan anak terbunuh atau terluka setiap harinya, menjadikan Gaza "kuburan bagi anak-anak."
Krisis kelaparan parah melanda, dengan 30% anak di bawah usia 2 tahun di Gaza Utara mengalami malnutrisi akut, dan 1 dari 3 balita berisiko kelaparan dan kematian.
Kisah-kisah individu semakin mengoyak hati. Seperti Muhammad Rabia Allayan, bocah 4 tahun yang dipanggil polisi Israel bersenjata lengkap karena "kejahatan" yang tak jelas, dengan tangan mungilnya menggenggam pisang, apel, dan cokelat untuk menemaninya diinterogasi. Di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, anak-anak diculik dari tempat tidur mereka, dipenjara, dilaparkan, dilecehkan, dan dibiarkan mati karena penelantaran medis atau ditembak di jalanan tanpa akses ambulan.
Profesor Nadera Shalhoub-Kevorkian memperkenalkan konsep "unchilding" – proses di mana anak-anak Palestina secara sistematis dilucuti dari masa kanak-kanak mereka, dianggap sebagai ancaman atau "teroris", bahkan sejak lahir menurut beberapa pejabat Israel. Ini adalah strategi yang disengaja untuk menghancurkan masa depan sebuah bangsa.
Luka Batin yang Mendalam dan Seruan Tanggung Jawab Global
Dr. Yaser Abujamei dari Gaza Community Mental Health Program menggambarkan trauma psikologis mendalam yang dialami anak-anak. Mereka hidup dalam ketakutan terus-menerus akan bom, mengalami mimpi buruk, mengompol, dan menyaksikan pemandangan mengerikan. Ribuan anak menjadi yatim piatu setelah ditarik dari reruntuhan rumah mereka. Istilah medis seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) dirasa tidak cukup untuk menggambarkan kedalaman luka batin mereka.
Para pembicara juga menyoroti kegagalan komunitas internasional dan institusi global. Dr. Tlaleng Mofokeng, Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Kesehatan, menyebut situasi ini sebagai "kegagalan total kemanusiaan." Ia dan pembicara lain seperti Dr. Ghassan Abu-Sittah mengkritik keras kebungkaman dan bahkan keterlibatan institusi medis global yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan kemanusiaan. Mereka menekankan bahwa institusi-institusi ini memiliki sejarah kolonial dan kini seolah kembali pada peran lamanya dalam mendukung penindasan.
Dr. Asma Jaber Qadri, seorang psikiater anak, menegaskan bahwa diam bukanlah pilihan netral bagi tenaga kesehatan. Diam berarti turut melanggengkan kekerasan dan impunitas. Ia mengingatkan bahwa tenaga kesehatan adalah "mandated reporters" (pelapor wajib) yang memiliki tanggung jawab profesional untuk melindungi anak-anak, terlepas dari risiko atau tekanan yang dihadapi.
Harapan yang Menolak Padam dan Panggilan untuk Bertindak
Di tengah keputusasaan, secercah harapan tetap menyala. Para pembicara mengutip penyair Palestina Mahmoud Darwish, "Kami orang Palestina memiliki penyakit tak tersembuhkan bernama harapan." Harapan ini hidup dalam diri anak-anak yang menanam tomat di reruntuhan, yang bercita-cita menjadi jurnalis untuk melawan kebisuan dunia, atau yang erat memeluk mainan mereka sebagai simbol penolakan atas perampasan.
Simposium ini sendiri adalah bentuk perlawanan dan harapan. Seruan aksi bergema kuat dari para pembicara:
Terus Bersuara: Jangan pernah berhenti membicarakan Palestina. Bagikan informasi, unggah di media sosial, dan lawan narasi yang salah.
Organisasi dan Mobilisasi: Bergabung dengan kelompok solidaritas seperti Doctors Against Genocide, Healthcare Workers for Palestine, atau jaringan kesehatan mental global. Berorganisasi secara lokal maupun internasional.
Tekanan dan Boikot (BDS): Sahar Francis dari Addameer dan pembicara lain menyerukan dukungan terhadap gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap institusi Israel dan pihak-pihak yang mendukung pendudukan dan genosida.
Tuntut Akuntabilitas: Desak institusi medis, akademik, dan pemerintah untuk mengakhiri keterlibatan mereka dan menuntut pertanggungjawaban pelaku kejahatan.
Rencanakan Masa Depan: Seperti ditekankan Dr. Abu-Sittah, penting untuk terus percaya dan merencanakan masa depan Palestina yang bebas, termasuk membangun kembali sistem kesehatan dan pendidikan. Ini adalah bagian dari perlawanan terhadap upaya penghapusan.
Tunjukkan Solidaritas Nyata: Berpartisipasi dalam aksi damai, protes, atau kegiatan solidaritas lainnya untuk menunjukkan kepada anak-anak Palestina bahwa dunia peduli.
Penutup
Simposium "Not Another Child" adalah pengingat keras bahwa krisis kemanusiaan di Palestina, khususnya yang menimpa anak-anak, membutuhkan perhatian dan tindakan segera dari kita semua. Kebisuan dan kelambanan hanya akan menambah daftar panjang korban tak berdosa. Saatnya dunia bersatu, menuntut keadilan, dan memastikan bahwa tidak ada lagi anak Palestina yang masa depannya direnggut oleh kekerasan dan pendudukan.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar terhadap tulisan kami!